Senin, 20 Mei 2013

REDENOMINASI RUPIAH

Redenominasi RUPIAH, Apakah dampaknya bagi kita?

"Pemerintah merencanakan redenominasi rupiah, apa akibatnya bagi kita masyarakat awam? mengapa pemerintah melakukan ini?"
----------------------------------------------------------------------------------
Redenominasi ialah menyederhanakan nilai uang dengan cara menghilangkan angka nol (mengurangi digit) dengan tanpa mengurangi nilai uangnya. pemerintah berencana mengurangi 3 digit, contoh 1.000 rupiah menjadi 1 rupiah.
 

Tujuan Redenominasi untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih efesien dan meningkatkan kesetaraan Indonesia diantara negara-negara regional.
 

Tahapan Redenominasi

2011 - 2012 Sosialisasi Redenominasi
2013 - 2015 Masa Transisi
2016 - 2018 Penarikan Rupiah lama
2019 - 2022 pengahapusan tulisan "Baru" pada Rupiah Baru

Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution saat konsultasi publik perdana di Jakarta, pekan lalu, menyatakan, salah satu risiko penerapan redenominasi adalah potensi kenaikan harga akibat pembulatan harga-harga ke atas secara berlebihan untuk kepentingan pribadi. Ini bisa berujung pada inflasi.
 

Ahli Kebijakan Publik FHUI Bono Budi Priambodo memiliki pendapat lain. Menurutnya, redenominasi Rupiah tidak perlu dilakukan. Dia menilai tidak ada alasan yang fundamental dan mendesak untuk melakukan kebijakan tersebut. Pemerintah, katanya, seolah ingin mempertahankan image di dunia internasional, di mana jika redenominasi berhasil dilakukan maka pemerintah akan dianggap berhasil melakukan restrukturisasi perekonomian.
 

Kebijakan redenominasi memberikan sinyal untuk menambah masalah baru di tengah masyarakat. Salah satu masalah yang akan timbul adalah dampak psikologis yang akan dirasakan masyarakat. Misalnya, harga-harga kebutuhan pokok yang tidak disadari justru akan naik secara perlahan, karena kecenderungan pengusaha akan melakukan pembulatan harga ke atas. Hal inilah yang akan memicu terjadinya Inflasi di Indonesia.
 

Kita ambil contoh sekarang yang biasanya harga makanan di rumah makan Rp12.500,-, jika ada redenominasi maka akan menjadi Rp15. Tentu bagi masyarakat kelas bawah terjadi perubahan psikologis ketika pedagang menaikan harga menjadi Rp 15. Padahal harga Rp15 tersebut jika dikonversikan sekarang setara dengan Rp15.000,-.
 

Jika kebijakan redenominasi ini jadi dilakukan maka disadari atau tidak akan terjadi inflasi yang merayap. Kebijakan Pemerintah mengenai redenominasi ini tidak memihak kepada masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. menurut pandangan saya, pemerintah tidak melihat redenominasi hanya dari aspek makro, tapi seharusnya Pemerintah lebih peka terhadap dampak yang akan terjadi di kalangan ekonomi masyarakat bawah yang sudah terbebani dengan beberapa pemicu inflasi, seperti kenaikan harga bahan pokok makanan (bawang, daging, cabai) dan kenaikan harga BBM.
 

Menurut pandangan pribadi saya, kebijakan redenominasi sebaiknya tidak perlu tergesa-gesa diberlakukan, mengingat perekonomian Indonesia masih tumbuh 7,3 persen, inflasi 6,3 persen, artinya tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia masih diatas inflasi yang terjadi. Kemudian suku bunga acuan 5,75 persen, kredit bank berekspansi 23 persen, serta cadangan devisa 112 miliar dollar AS masih memungkinkan menjadi pertimbangan bagi Pemerintah. Memang masih ada berbagai masalah, misalnya fiskal (APBN) yang terbebani subsidi energi Rp 306 triliun, defisit neraca perdagangan 1,5 miliar dollar AS, dan defisit transaksi berjalan 20 miliar dollar AS. Namun, secara keseluruhan, perekonomian Indonesia terhitung ”baik-baik saja”. Karena itu, redenominasi tidak mendesak untuk diberlakukan sekarang. Namun kembali lagi ini hanya pandangan pribadi saya yang memang tidak pintar.
 

keadaan dilematis yang dirasakan oleh pemerintah antara citra bangsa dan dampak inflasi memang tidak begitu saja diabaikan, kalaupun redenominasi memang harus diberlakukan haruslah betul-betul memiliki dasar argumen yang kuat dan disertai kerja proaktif pemerintah untuk mengawasi gejolak harga pasar. dilematis itu bisa saya simpulkan dari beberapa alasan yang saya dapatkan dari beberapa narasumber tepercaya. 

Ada argumentasi bahwa umumnya negara yang melakukan redenominasi adalah mereka yang bermasalah dengan inflasi tinggi, bahkan hiperinflasi (inflasi di atas 50 persen per bulan), seperti dialami Argentina (1980-an), Brasil (1980-an dan 1990-an), Zimbabwe (2010). Sementara di Indonesia inflasi sekarang masih diambang wajar (6,3 persen).

Ada beberapa alasan lain yang menyatakan bahwa sebagian besar negara-negara yang melakukan redenominasi adalah alasan psikologis. Mata uang dengan nominal yang terlalu besar mempengaruhi citra negara yang menggunakannya, termasuk di mata para pelaku ekonomi antarbangsa. Secara psikologis, negara yang memiliki mata uang bernominal besar dianggap sebagai negara yang perekonomiannya tidak stabil dan berisiko tinggi. Karena itu, pengambil kebijakan di negara seperti misalnya Turki yang mengalami hiperinflasi di era tahun 1990-an, memutuskan untuk melakukan redenominasi untuk memulihkan kepercayaan pelaku ekonomi antar bangsa terhadap perekonomiannya. Setelah redenominasi dilakukan, ternyata dampak yang ditimbulkan tidak hanya berkisar pada citra negara yang menjadi lebih baik saja. Pengalaman di Rumania dan Turki menunjukkan bahwa  redenominasi juga berperan mendorong naiknya tingkat konsumsi masyarakat. 

Jika kita merefleksikan hal ini pada situasi Indonesia, maka redenominasi menjadi suatu kebijakan yang sangat relevan. Seperti kita ketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu dasawarsa terakhir ditopang sebagian besar oleh konsumsi masyarakat. Pakar ekonomi, seperti Sri Mulyani Indrawaty, juga menyarankan agar Indonesia memilih strategi pertumbuhan yang lebih tahan terhadap krisis global, yaitu dengan memperbesar proporsi konsumsi domestik sebagai motor penggerak pertumbuhan. Berdasarkan saran ini, maka redenominasi rupiah merupakan kebijakan yang bisa memastikan tumbuhnya tingkat konsumsi masyarakat sesuai dengan besaran yang diharapkan.

Bagi pemasar sendiri, redenominasi Rupiah menghadirkan peluang dan tantangan. Peluang yang ditawarkan sudah jelas, bahwa redenominasi akan meningkatkan keinginan konsumen untuk membeli barang dan jasa. Pemasar tinggal mencari cara untuk memastikan ‘keinginan membeli’ tersebut menjadi “pembelian” yang sebenarnya. Sementara, tantangan yang dihadapi adalah memutakhirkan strategi pricing yang digunakan. Strategi pricing yang sebelumnya digunakan mungkin menjadi tidak relevan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar